Saya merupakan seorang mahasiswi Fakultas Hukum, dengan fokus studi Ilmu Hukum di Universitas Pamulang

Hukum Pidana Kita Masih Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas?

Sabtu, 7 Juni 2025 09:26 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kesadaran Hukum
Iklan

Mengapa hukum pidana kita masih berat sebelah?

Ungkapan “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas” sudah seperti kalimat sakti yang mencerminkan kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum pidana di Indonesia. Yang tersirat: kalimat ini bukan sekedar kritik emosional, melainkan gambaran nyata dari wajah hukum kita yang sering bias kelas sosial.

Ibu Asyani vs Koruptor E-KTP: Dua Dunia, Dua Nasib

Mari kita tengok dua kasus nyata yang menggambarkan ketimpangan ini.

Pertama, kasus Ibu Asyani, seorang nenek berusia 63 tahun asal Situbondo yang pada tahun 2015 dituduh mencuri kayu jati milik Perhutani. Nilai kerugian dalam perkara ini hanya sekitar Rp17 juta. Meski Ibu Asyani mengaku kayu itu berasal dari pohon yang ditanam almarhum suaminya sendiri, ia tetap dituntut 5 tahun penjara oleh jaksa. Walau akhirnya divonis bebas oleh pengadilan karena tidak cukup bukti, proses panjang dan beban psikis yang harus ia tanggung sudah jelas menjadi bentuk kriminalisasi terhadap warga kecil.

Bandingkan dengan kasus korupsi e-KTP yang melibatkan banyak elit politik. Salah satu tokoh sentral, Setya Novanto, terbukti merugikan negara Rp2,3 triliun. Meski akhirnya dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, publik tak lupa bagaimana proses hukumnya diwarnai sandiwara: dari drama "pura-pura sakit", kecelakaan mobil, hingga sikap lembek aparat penegak hukum yang sempat ragu menahan. Bahkan setelah masuk penjara, ia sempat tertangkap kamera menikmati fasilitas mewah di Lapas Sukamiskin.

Di Mana Letak Keadilan Pidana?

Hukum pidana seharusnya tidak semata-mata mengatur siapa yang harus dihukum, tetapi mengapa dan bagaimana penghukuman itu dilakukan secara adil. Bila seseorang yang mencuri karena alasan bertahan hidup langsung diproses, sedangkan pelaku korupsi besar yang hidup mewah justru bisa "negosiasi" hukuman, maka jelas ada krisis dalam keadilan pidana kita.

Fenomena ini menunjukkan bahwa sistem hukum kita belum sepenuhnya bebas dari pengaruh kekuasaan dan kepentingan. Perbedaan akses terhadap pengacara, tekanan publik, dan relasi dengan aparat penegak hukum menjadi faktor besar dalam menentukan arah penegakan hukum pidana.

Solusi? Tidak Cukup dengan Revisi Undang-Undang

Reformasi hukum pidana tidak cukup dilakukan dengan merevisi KUHP atau memperbarui aturan teknis. Dibutuhkan keberanian struktural untuk menata ulang lembaga penegak hukum—dari kepolisian, kejaksaan, hingga peradilan—agar tidak menjadi alat pemuas kekuasaan.

Di samping itu, perlindungan bagi aparat yang jujur, pengawasan publik yang kuat, dan keterbukaan informasi hukum sangat penting untuk menjaga akuntabilitas. Media massa dan masyarakat sipil juga memegang peranan penting sebagai pengontrol narasi dan pengungkap kejanggalan.

Masyarakat Harus Melek dan Kritis

Sebagai warga negara, kita tidak boleh puas hanya dengan bersuara di Twitter atau menyaksikan drama persidangan di YouTube. Kita perlu bersikap kritis, menuntut keadilan yang setara, dan memberi tekanan kepada para pembuat kebijakan agar hukum pidana tidak terus menjadi alat kekuasaan sepihak.

Karena hukum yang adil bukan hanya yang tertulis di dalam pasal-pasal, tapi yang hidup dan terasa dalam perlakuan yang setara—baik kepada ibu pencari kayu maupun kepada pejabat pencuri anggaran negara.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Dewiwulan Sari Yunizahra

Mahasiswi Universitas Pamulang

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua